Sejarah Hakekat Tuhan
Filsafat adalah olah pikir. Berfilsafat sama halnya
dengan mencari hakekat.
Tuhan mendahului segala sesuatunya, mendahului
segala apapun yang diciptakan-Nya. Sehingga Tuhan sendirilah yang mempunyai
sejarah bukan manusia. Manusia sejarahnya sangat terbatas dan sangat relative,
maka sebenar-benarnya sejarah adalah milik Tuhan. Apalah daya manusia
mengetahui sejarah, jangankan sejarah Tuhan, sejarah tentang manusia itu sendiripun
belum tentu paham. Apalah daya manusia memahami sejarah dirinya, memahami
dirinya satu titik saja belum tentu bisa. Manusia tak mampu mengerti hakekat
dirinya pada satu titik dan pada satu tempat, apalagi sejarah yang merentang
antara ruang dan waktu. Ini adalah suatu persoalan yang cukup rumit dan besar.
Manusia harus mampu mensyukuri nikmat keterbatasan
yang di karuniakan oleh Tuhan. Maka untuk menjawab tentang masalh sejarah
hakekat Tuhan, maka sudah bukan wilayah filsafat lagi tapi memasuki wilayah
spiritual. Artinya bukan olah pikir lagi tapi olah hati. Ada kalanya ketika
manusia sedang berdoa, mereka masih menggunakan otaknya untuk mengontrol. Namun
ketika sudah intensif, manusia bisa berhenti berpikir/menggunakan otak, namun
manusia tak mampu menebak kapan itu bisa terjadi. Manusia yang pengetahuan spiritualnya tinggi
belum tentu kualitas spiritualnya juga tinggi. Hanya manusia itu sendiri dan
Tuhan yang tahu tentang kualitas spiritual masing-masing.
Alam semesta juga merupakan bagian dari misteri
Tuhan. Struktur alam semesta itu sangat kompleks. Jika manusia sudah mampu
mengetahui misteri alam semesta, maka manusia juga mampu mengungkap misteri
Tuhan. Contohnya ketika manusia mempelajari unsur-unsur alam seperti air dan
api, manusia hanya mampu mengetahui sampai batas unsur-unsur terkecil yang
disepakati, selebihnya masih menjadi misteri. Maka untuk mengetahui sejarah
hakekat Tuhan, tetapkanlah hatimu sebagai komandanmu, karena jika tidak, bisa
saja pengembaraan pikiran yang sudah terlalu jauh, tidak akan bisa kembali
lagi.
Pengetahuan manusia saat ini tentang alam semesta
adalah ibarat setitik pasir di pantai. Pergerakan manusia di alam semesta
ibarat pergerakan semut di gerbong rel kereta api. Manusia tak mampu merasakan
pergerakan bumi berputar pada porosnya sekaligus mengelilingi matahari. Untuk
memperoleh suatu ilmu diperlukan pengalaman yang panjang. Karena pengalaman
adalah separuh dari ilmu, dan yang separuh lagi adalah memikirkannya. Ilmu itu
tidak diperoleh secara instan. Maka untuk mengetahui sejarah hakekat Tuhan
dibutuhkan waktu dan pengalaman yang panjang.
Pembelajaran hafalan dalam filsafat
Metode hafalan dalam filsafat adalah metode yang
naif, karena itu tidak akan mencapai sasaran, dan sasarannya adalah pemahaman.
Tujuan pembelajaran filsafat supaya yang mungkin ada itu menjadi ada. Maka jika
itu diibaratkan sebagai gunung, kita harus mampu mengempurnya dari segala sisi.
Karena saking banyaknya kajian filsafat itu. Maka melalui-melalui
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Prof. Marsigit lah diharapkan
mahasiswa mampu mengerti tentang yang ada dan yang mungkin ada. Guru yang
paling mengerikan adalah guru yang tidak mau/tidak suka diberi pertanyaan oleh
muridnya.
Tokoh filsafat baru
Filsafat itu selalu berdimensi, tokoh-tokohnya itu
juga berdimensi karena pikirannya juga berdimensi. Dimensi menyangkut struktur,
sedangkan struktur dunia itu adalah yang ada dan yang mungkin ada. Ada filsafat formal dan ada filsafat
normatif. Material filsafat adalah material, formalnya filsafat adalah formal,
dan normatifnya filsafat adalah normatif. Maka bentuk formal filsafat itu bermacam-macam,
ada buku-bukunya, tulisannya dan sebagainya. Tokohnya yang paling terkenal ada
Plato, Socrates (tokoh-tokoh formal), normatifnya adalah pikiran-pikirannya,
dan ide-idenya. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa jauh persamaan persepsi
atau ide-ide kita dengan ide-ide Plato atau Socrates?
Maka bisa disimpulkan bahwa filsafat itu adalah diri kita sendiri, maka tokoh-tokoh filsafat baru adalah kita sendiri, atau bisa dikatakan tokoh substansinya. Maka dalam berfilsafat kita sendirilah tokohnya itu. Salah satu fungsi pembelajaran filsafat adalah agar kita mampu membebaskan pikiran kita dari keterkungkungan tokoh-tokoh lain, dalam hal metodologi berpikirnya sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar