Jumat, 25 Oktober 2013

Refleksi ke-4 Perkuliahan tgl :11 Oktober 2013


Sejarah Hakekat Tuhan

Filsafat adalah olah pikir. Berfilsafat sama halnya dengan mencari hakekat.

Tuhan mendahului segala sesuatunya, mendahului segala apapun yang diciptakan-Nya. Sehingga Tuhan sendirilah yang mempunyai sejarah bukan manusia. Manusia sejarahnya sangat terbatas dan sangat relative, maka sebenar-benarnya sejarah adalah milik Tuhan. Apalah daya manusia mengetahui sejarah, jangankan sejarah Tuhan, sejarah tentang manusia itu sendiripun belum tentu paham. Apalah daya manusia memahami sejarah dirinya, memahami dirinya satu titik saja belum tentu bisa. Manusia tak mampu mengerti hakekat dirinya pada satu titik dan pada satu tempat, apalagi sejarah yang merentang antara ruang dan waktu. Ini adalah suatu persoalan yang cukup rumit dan besar. 

Manusia harus mampu mensyukuri nikmat keterbatasan yang di karuniakan oleh Tuhan. Maka untuk menjawab tentang masalh sejarah hakekat Tuhan, maka sudah bukan wilayah filsafat lagi tapi memasuki wilayah spiritual. Artinya bukan olah pikir lagi tapi olah hati. Ada kalanya ketika manusia sedang berdoa, mereka masih menggunakan otaknya untuk mengontrol. Namun ketika sudah intensif, manusia bisa berhenti berpikir/menggunakan otak, namun manusia tak mampu menebak kapan itu bisa terjadi.  Manusia yang pengetahuan spiritualnya tinggi belum tentu kualitas spiritualnya juga tinggi. Hanya manusia itu sendiri dan Tuhan yang tahu tentang kualitas spiritual masing-masing.
Alam semesta juga merupakan bagian dari misteri Tuhan. Struktur alam semesta itu sangat kompleks. Jika manusia sudah mampu mengetahui misteri alam semesta, maka manusia juga mampu mengungkap misteri Tuhan. Contohnya ketika manusia mempelajari unsur-unsur alam seperti air dan api, manusia hanya mampu mengetahui sampai batas unsur-unsur terkecil yang disepakati, selebihnya masih menjadi misteri. Maka untuk mengetahui sejarah hakekat Tuhan, tetapkanlah hatimu sebagai komandanmu, karena jika tidak, bisa saja pengembaraan pikiran yang sudah terlalu jauh, tidak akan bisa kembali lagi.

Pengetahuan manusia saat ini tentang alam semesta adalah ibarat setitik pasir di pantai. Pergerakan manusia di alam semesta ibarat pergerakan semut di gerbong rel kereta api. Manusia tak mampu merasakan pergerakan bumi berputar pada porosnya sekaligus mengelilingi matahari. Untuk memperoleh suatu ilmu diperlukan pengalaman yang panjang. Karena pengalaman adalah separuh dari ilmu, dan yang separuh lagi adalah memikirkannya. Ilmu itu tidak diperoleh secara instan. Maka untuk mengetahui sejarah hakekat Tuhan dibutuhkan waktu dan pengalaman yang panjang.

Pembelajaran hafalan dalam filsafat

Metode hafalan dalam filsafat adalah metode yang naif, karena itu tidak akan mencapai sasaran, dan sasarannya adalah pemahaman. Tujuan pembelajaran filsafat supaya yang mungkin ada itu menjadi ada. Maka jika itu diibaratkan sebagai gunung, kita harus mampu mengempurnya dari segala sisi. Karena saking banyaknya kajian filsafat itu. Maka melalui-melalui pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Prof. Marsigit lah diharapkan mahasiswa mampu mengerti tentang yang ada dan yang mungkin ada. Guru yang paling mengerikan adalah guru yang tidak mau/tidak suka diberi pertanyaan oleh muridnya. 

Tokoh filsafat baru

Filsafat itu selalu berdimensi, tokoh-tokohnya itu juga berdimensi karena pikirannya juga berdimensi. Dimensi menyangkut struktur, sedangkan struktur dunia itu adalah yang ada dan yang mungkin ada.  Ada filsafat formal dan ada filsafat normatif. Material filsafat adalah material, formalnya filsafat adalah formal, dan normatifnya filsafat adalah normatif. Maka bentuk formal filsafat itu bermacam-macam, ada buku-bukunya, tulisannya dan sebagainya. Tokohnya yang paling terkenal ada Plato, Socrates (tokoh-tokoh formal), normatifnya adalah pikiran-pikirannya, dan ide-idenya. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa jauh persamaan persepsi atau ide-ide kita dengan ide-ide Plato atau Socrates?

Maka bisa disimpulkan bahwa filsafat itu adalah diri kita sendiri, maka tokoh-tokoh filsafat baru adalah kita sendiri, atau bisa dikatakan tokoh substansinya. Maka dalam berfilsafat kita sendirilah tokohnya itu. Salah satu fungsi pembelajaran filsafat adalah agar kita mampu membebaskan pikiran kita dari keterkungkungan tokoh-tokoh lain, dalam hal metodologi berpikirnya sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar