Kamis, 07 November 2013

Refleksi 6 Perkuliahan Tgl 1 November 2013



SEJARAH ALIRAN FILSAFAT
Segala sesuatunya berangkat dari yang ADA. “Ada” itu bermacam-macam, 1001 macam sifat yang melekat pada yang “ada”. Yang “ada” itu bisa bersifat tetap dan bisa bersifat berubah. Bersifat tetap berkiblat pada Permenides dan bersifat berubah berkiblat pada Heraclitos. Kemudian segala yang “ada” itu terdapat unsur turun dan unsur naiknya. Unsur turun dan naik yang dimaksud adalah dimensinya, yang terdiri dari material, formal, normatif dan spiritual. Menurut pandangan Permenides, maka yang “ada” cuma ada satu karena bersifat tetap. Sedangkan menurut pandangan Heraclitos yang “ada” banyak sebab selalu berubah-ubah. Sehingga “ada” yang bersifat tetap itu cenderung ke monolism dan “ada” yang bersifat berubah itu cenderung bersifat pluralism. Atau bisa juga dikatakan “ada” menurut pandangan Heraclitos lebih bersifat duniawi, sedangkan pandangan Permenides tentang “ada” lebih kepada akhirat. Yang “ada” itu bisa di dalam dan bisa di luar juga.
Sehingga jika kita berbicara tentang yang “ada” mengapa bersifat tetap dan bersifat berubah serta dibatasi oleh ruang dan waktu maka akan terjadi pertikaian. Dalam filsafat, ada toleran terhadap ruang dan waktu sehingga gampang sekali orang berfilsafat itu. Hal ini dikarenakan pengalaman yang sudah ada tentang berfilsafat. Beda dengan filsuf terdahulu yang belum dibarengi oleh pengalaman, sehingga mudah saja bagi seorang Permenides mempercayai bahwa yang “ada” itu bersifat tetap dan terus mempertahankan pendapatnya bahwa segala sesuatu itu bersifat tetap, begitu pula dengan Heraclitos yang juga tetap mempertahankan pedapatnya bahwa segala yang “ada” itu berubah. Selanjutnya muncul filsuf-filsuf baru sebagai pengikut mereka berdua. Permenides dengan kepercayaan tetapnya diikuti oleh Plato yang menganut filsuf Idealisme. Kemudian serta merta dibantah oleh muridnya, Aristoteles, yang menganut paham realisme. Aristoteles lebih cenderung pada perubahan.
Yang tetap itu yang ada dalam pikiran dan yang berubah itu yang ada di luar pikiran. Manusia itulah tetap, dari awal zaman sampai akhir zaman tetaplah manusia itu adalah ciptaan Tuhan dan itu tidak bisa dibantah. Lalu yang berubah apanya? Yang berubah adalah pakaian, berat badan, kandungan dalam tubuh dan lain sebagainya.
Selanjutnya dengan berbagai variasi filsafat ilmu yang ada, mucul pula nama Rene Descartes yang sejalan dengan Plato dan Permenides (alirannya sejenis tapi beda rasa), Rene Descartes menganut Rasionalisme. Kemudian ada David Hume yang sejalan dengan Heraclitos dan Aristoteles tapi pada penekanan yang berbeda. David Hume menganut paham empirisisme.
Rene Descartes berangkat dari pendapat Permenides yang mengatakan bahwa segala sesuatunya itu tetap, maka bisa dikatakan jika matematika itu tetap, sudah lengkap dalam pikiran manusia tapi mengapa manusia belum mampu menemukannya? Karena manusia terbalut dalam badannya sehingga menjadi bodoh karenanya. Sehingga menimbulkan pertentangan dengan pengikut Heraclitos melalui buku-buku yang diterbitkan, layaknya ombak yang naik turun, sama-sama mempertahankan pendapat masing-masing antara rasionalism dan empirisism.
Akibatnya muncullah sang juru damai dalam filsafat yakni Imanuel Imanuel Kant. Karena Imanuel Imanuel Kant adalah sang juru damai, maka lengkaplah gelar Imanuel Imanuel Kant sebagai filsuf. Imanuel Imanuel Kant bisa disebut sebagai penganut rasionalism dan bisa juga disebut sebagai penganut empirisism. Sebagai juru damai, Imanuel Kant mengatakan pada Rene Deskartes bahwa bukan karena rasionalism tidak penting tapi itu karena Descartes terlalu mengagung-angungkan rasionalism dan kurang menghargai pengalaman. Begitupun pada David Hume yang terlalu mengagung-agungkan empirisism, Imanuel Kant mengatakan bahwa David Hume juga kurang menghargai rasionalism. Sehingga Imanuel Kant merumuskan bahwa Rene Descartes itu bersifat Analitik Apriori dimana kebenarannya bersifat koherensi atau kebenaran konsisten sedangkan David Hume memiliki sifat Sintetik Aposteriori dimana kebenarannya bersifat korespondensi. Sehingga pengalaman itu adalah sintetik dan logika manusia itu analitik, maka Imanuel Kant memproklamirkan bahwa ilmu adalah Sintetik Apriori di mana Imanuel Kant mengambil Sintetik dari David Hume sedangkan Apriori diambil dari Rene Descartes. Maka ilmu menurut Imanuel Kant haruslah gabungan dari pengalaman dan logika, logika saja dan tidak ada pengalaman itu sama saja dengan kekosongan, dan pengalaman saja tanpa logika akan menjadi buta. Sehingga menurut Imanuel Kant, keduanya (David Hume dan Rene Descartes) harus berjuang agar tidak menjadi buta dan kosong. Itulah hakekat dalam mencari ilmu.
Oleh karena itu dalam matematika murni, yang hanya analitik apriori saja dan tidak peduli kepada penerapannya, maka dia terancam bukan menjadi ilmu. Karena itu merupakan separuh ilmu saja menurut Imanuel Kant.
Kemudian muncullah antitesis dari semuanya (filsafat). Filsafat selalu dilalui oleh tiga jalur yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi yang terus mengalir dan akhirnya lahirlah August Comte yang mengklaim dirinya sebagai Positivisme. Positivisme adalah kaum yang merasa gerah dan tidak nyaman terhadap hiruk pikuk diskusi yang begitu heboh dan tidak bermanfaat sama sekali. Sehingga kaum positivisme mengeluarkan semboyan “go to hell filsafat”. Menurut Comte jika ingin membangun masyarakat, manusia tak perlu repot-repot berfilsafat, praktis saja, gunakan ilmu pegetahuan untuk secara kongkrit untuk mewujudkan masyarakat yang diingikan itu seperti apa. August Comte juga menabuh genderang perang terhadap spiritualisme. Tapi kaum spiritualisme tidak mengerti dan juga tidak menyadarinya. Sehingga August Comte menempatkan spiritual pada dimensi paling bawah, selanjutnya disusul oleh tradisional, selanjutnya paling atas adalah maju. Secara tak langsung August Comte berpendapat jika ingin maju, maka tinggalkanlah spiritualisme, itu terjadi dua abad yang lalu yaitu abad ke-19. Pada saat itu sebenarnya spiritualism telah ditinggal dan sudah dipinggirkan namun siapa yang tahu dan siapa yang peduli. Kemudian tidak pula muncul karya-karya spiritualism yang berusaha membenarkan dan membangun. Menurut August Comte sebagian dari spiritual ini bersifat irrasional karena pikirannya tidak mampu menjelaskannya. Untuk mewujudkan masyarakat yang maju manusia harus berpikir rasional, yang terukur dan bersifat scientific. Maka dari sinilah segala macam persoalan hidup muncul, juga muncul metodologi pengetahuan segala macam pengetahuan yang bersifat logi-logi itu, misalnya biologi, geologi, psikologi dan seterusnya. Maka sekarang ini kita tinggal menerima dampak dan akibatnya, di mana kadang-kadang kalau manusia tidak paham, manusia bisa terkejut dan terheran-heran, terutama terheran-heran terhadap diri kita masing-masing.
Akibatnya adanya benturan antara dunia Barat dan dunia Timur, sulit untuk bisa saling berkompromi. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan susunan dimensi material antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Pada pandangan dunia Timur, dimensi spiritual diletakkan di dimensi tertinggi dan sebaliknya pada pandangan dunia Barat, dimensi spiritual diletakkan di dimensi paling bawah. Jadi sebenarnya genderang perang itu sudah ditabuhkan dari dulu tapi hanya orang yang belajar saja yang mampu memahami adanya genderang perang itu.
Karena munculnya kemajuan ini, maka muncullah fase era eksploitasi. Mulai dari perkembangan IPTEK sampai pada hedonism untuk eksploitasi dunia. Kemudian tanpa disadari oleh kaum Timur dan kaum spiritual, kaum intelek telah menyusup ke segala macam segmen kehidupan, serta menyeruak dan melahirkan fenomena baru yang disebut dengan Power Now, dimana Power Now itu menganggap struktur dunia yang paling rendah adalah masyarakat Archaic (masyarakat batu), selanjutnya diatasnya ada masyarakat tribal, tradisional, feodal, modern, post modern, post post modern contemporer, dan paling atas adalah Power Now. Dalam filsafat, sistem yang tidak dikehendaki adalah Dajjal. Empat pilar utama Power Now adalah neokapitalisme, neoutilitirian, neopragmatism dan neohedonism. Mereka mengeksploitasi kita semua. Oleh karena itu kita akan menghadapi fenomena-fenomena unpredictable (di luar kelaziman dan di luar kewajaran). Tidak perlu jauh-jauh contohnya adalah diri kita masing-masing, tanpa disadari diri kita sendiri telah berubah menjadi Power Now.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar