SEJARAH ALIRAN FILSAFAT
Segala
sesuatunya berangkat dari yang ADA. “Ada” itu bermacam-macam, 1001 macam sifat
yang melekat pada yang “ada”. Yang “ada” itu bisa bersifat tetap dan bisa bersifat
berubah. Bersifat tetap berkiblat pada Permenides dan bersifat berubah
berkiblat pada Heraclitos. Kemudian segala yang “ada” itu terdapat unsur turun
dan unsur naiknya. Unsur turun dan naik yang dimaksud adalah dimensinya, yang
terdiri dari material, formal, normatif dan spiritual. Menurut pandangan
Permenides, maka yang “ada” cuma ada satu karena bersifat tetap. Sedangkan
menurut pandangan Heraclitos yang “ada” banyak sebab selalu berubah-ubah. Sehingga
“ada” yang bersifat tetap itu cenderung ke monolism dan “ada” yang bersifat
berubah itu cenderung bersifat pluralism. Atau bisa juga dikatakan “ada”
menurut pandangan Heraclitos lebih bersifat duniawi, sedangkan pandangan
Permenides tentang “ada” lebih kepada akhirat. Yang “ada” itu bisa di dalam dan
bisa di luar juga.
Sehingga
jika kita berbicara tentang yang “ada” mengapa bersifat tetap dan bersifat
berubah serta dibatasi oleh ruang dan waktu maka akan terjadi pertikaian. Dalam
filsafat, ada toleran terhadap ruang dan waktu sehingga gampang sekali orang
berfilsafat itu. Hal ini dikarenakan pengalaman yang sudah ada tentang
berfilsafat. Beda dengan filsuf terdahulu yang belum dibarengi oleh pengalaman,
sehingga mudah saja bagi seorang Permenides mempercayai bahwa yang “ada” itu
bersifat tetap dan terus mempertahankan pendapatnya bahwa segala sesuatu itu
bersifat tetap, begitu pula dengan Heraclitos yang juga tetap mempertahankan
pedapatnya bahwa segala yang “ada” itu berubah. Selanjutnya muncul
filsuf-filsuf baru sebagai pengikut mereka berdua. Permenides dengan
kepercayaan tetapnya diikuti oleh Plato yang menganut filsuf Idealisme.
Kemudian serta merta dibantah oleh muridnya, Aristoteles, yang menganut paham
realisme. Aristoteles lebih cenderung pada perubahan.
Yang
tetap itu yang ada dalam pikiran dan yang berubah itu yang ada di luar pikiran.
Manusia itulah tetap, dari awal zaman sampai akhir zaman tetaplah manusia itu
adalah ciptaan Tuhan dan itu tidak bisa dibantah. Lalu yang berubah apanya?
Yang berubah adalah pakaian, berat badan, kandungan dalam tubuh dan lain
sebagainya.
Selanjutnya
dengan berbagai variasi filsafat ilmu yang ada, mucul pula nama Rene Descartes
yang sejalan dengan Plato dan Permenides (alirannya sejenis tapi beda rasa),
Rene Descartes menganut Rasionalisme. Kemudian ada David Hume yang sejalan
dengan Heraclitos dan Aristoteles tapi pada penekanan yang berbeda. David Hume
menganut paham empirisisme.
Rene
Descartes berangkat dari pendapat Permenides yang mengatakan bahwa segala
sesuatunya itu tetap, maka bisa dikatakan jika matematika itu tetap, sudah
lengkap dalam pikiran manusia tapi mengapa manusia belum mampu menemukannya?
Karena manusia terbalut dalam badannya sehingga menjadi bodoh karenanya.
Sehingga menimbulkan pertentangan dengan pengikut Heraclitos melalui buku-buku
yang diterbitkan, layaknya ombak yang naik turun, sama-sama mempertahankan
pendapat masing-masing antara rasionalism dan empirisism.
Akibatnya
muncullah sang juru damai dalam filsafat yakni Imanuel Imanuel Kant. Karena
Imanuel Imanuel Kant adalah sang juru damai, maka lengkaplah gelar Imanuel Imanuel
Kant sebagai filsuf. Imanuel Imanuel Kant bisa disebut sebagai penganut
rasionalism dan bisa juga disebut sebagai penganut empirisism. Sebagai juru
damai, Imanuel Kant mengatakan pada Rene Deskartes bahwa bukan karena
rasionalism tidak penting tapi itu karena Descartes terlalu mengagung-angungkan
rasionalism dan kurang menghargai pengalaman. Begitupun pada David Hume yang
terlalu mengagung-agungkan empirisism, Imanuel Kant mengatakan bahwa David Hume
juga kurang menghargai rasionalism. Sehingga Imanuel Kant merumuskan bahwa Rene
Descartes itu bersifat Analitik Apriori dimana kebenarannya bersifat koherensi
atau kebenaran konsisten sedangkan David Hume memiliki sifat Sintetik
Aposteriori dimana kebenarannya bersifat korespondensi. Sehingga pengalaman itu
adalah sintetik dan logika manusia itu analitik, maka Imanuel Kant
memproklamirkan bahwa ilmu adalah Sintetik Apriori di mana Imanuel Kant
mengambil Sintetik dari David Hume sedangkan Apriori diambil dari Rene Descartes.
Maka ilmu menurut Imanuel Kant haruslah gabungan dari pengalaman dan logika,
logika saja dan tidak ada pengalaman itu sama saja dengan kekosongan, dan
pengalaman saja tanpa logika akan menjadi buta. Sehingga menurut Imanuel Kant,
keduanya (David Hume dan Rene Descartes) harus berjuang agar tidak menjadi buta
dan kosong. Itulah hakekat dalam mencari ilmu.
Oleh
karena itu dalam matematika murni, yang hanya analitik apriori saja dan tidak
peduli kepada penerapannya, maka dia terancam bukan menjadi ilmu. Karena itu
merupakan separuh ilmu saja menurut Imanuel Kant.
Kemudian
muncullah antitesis dari semuanya (filsafat). Filsafat selalu dilalui oleh tiga
jalur yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi yang terus mengalir dan
akhirnya lahirlah August Comte yang mengklaim dirinya sebagai Positivisme.
Positivisme adalah kaum yang merasa gerah dan tidak nyaman terhadap hiruk pikuk
diskusi yang begitu heboh dan tidak bermanfaat sama sekali. Sehingga kaum
positivisme mengeluarkan semboyan “go to
hell filsafat”. Menurut Comte jika ingin membangun masyarakat, manusia tak
perlu repot-repot berfilsafat, praktis saja, gunakan ilmu pegetahuan untuk
secara kongkrit untuk mewujudkan masyarakat yang diingikan itu seperti apa.
August Comte juga menabuh genderang perang terhadap spiritualisme. Tapi kaum
spiritualisme tidak mengerti dan juga tidak menyadarinya. Sehingga August Comte
menempatkan spiritual pada dimensi paling bawah, selanjutnya disusul oleh
tradisional, selanjutnya paling atas adalah maju. Secara tak langsung August
Comte berpendapat jika ingin maju, maka tinggalkanlah spiritualisme, itu
terjadi dua abad yang lalu yaitu abad ke-19. Pada saat itu sebenarnya
spiritualism telah ditinggal dan sudah dipinggirkan namun siapa yang tahu dan
siapa yang peduli. Kemudian tidak pula muncul karya-karya spiritualism yang
berusaha membenarkan dan membangun. Menurut August Comte sebagian dari
spiritual ini bersifat irrasional karena pikirannya tidak mampu menjelaskannya.
Untuk mewujudkan masyarakat yang maju manusia harus berpikir rasional, yang
terukur dan bersifat scientific. Maka dari sinilah segala macam persoalan hidup
muncul, juga muncul metodologi pengetahuan segala macam pengetahuan yang
bersifat logi-logi itu, misalnya biologi, geologi, psikologi dan seterusnya.
Maka sekarang ini kita tinggal menerima dampak dan akibatnya, di mana
kadang-kadang kalau manusia tidak paham, manusia bisa terkejut dan
terheran-heran, terutama terheran-heran terhadap diri kita masing-masing.
Akibatnya
adanya benturan antara dunia Barat dan dunia Timur, sulit untuk bisa saling
berkompromi. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan susunan dimensi
material antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Pada pandangan dunia Timur,
dimensi spiritual diletakkan di dimensi tertinggi dan sebaliknya pada pandangan
dunia Barat, dimensi spiritual diletakkan di dimensi paling bawah. Jadi
sebenarnya genderang perang itu sudah ditabuhkan dari dulu tapi hanya orang
yang belajar saja yang mampu memahami adanya genderang perang itu.
Karena
munculnya kemajuan ini, maka muncullah fase era eksploitasi. Mulai dari
perkembangan IPTEK sampai pada hedonism untuk eksploitasi dunia. Kemudian tanpa
disadari oleh kaum Timur dan kaum spiritual, kaum intelek telah menyusup ke
segala macam segmen kehidupan, serta menyeruak dan melahirkan fenomena baru
yang disebut dengan Power Now, dimana Power Now itu menganggap struktur dunia yang
paling rendah adalah masyarakat Archaic (masyarakat batu), selanjutnya
diatasnya ada masyarakat tribal, tradisional, feodal, modern, post modern, post
post modern contemporer, dan paling atas adalah Power Now. Dalam filsafat,
sistem yang tidak dikehendaki adalah Dajjal. Empat pilar utama Power Now adalah
neokapitalisme, neoutilitirian, neopragmatism dan neohedonism. Mereka
mengeksploitasi kita semua. Oleh karena itu kita akan menghadapi
fenomena-fenomena unpredictable (di luar kelaziman dan di luar kewajaran).
Tidak perlu jauh-jauh contohnya adalah diri kita masing-masing, tanpa disadari
diri kita sendiri telah berubah menjadi Power Now.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar